Tiga Hikmah dan Ibrah Penting Dalam Panggilan Haji
Oleh: H. Ahmad Mudzoffar Jufri
Musim haji telah tiba kembali. Dan pelaksanaan ibadah agung yang merupakan rukun Islam kelima itu akan segera berlangsung. Para jamaahpun secara bergelombang sudah pada berangkat untuk menyambut dan memenuhi seruan Allah. Tentu saja kita bergembira dan bersyukur atas besarnya semangat dan luar biasanya antusiasme masyarakat muslim dalam menunaikan perintah agama. Sekaligus tak lupa kita berdoa dan berharap semoga seluruh jamaah dikaruniai keikhlasan, diberi kemudahan dan kelancaran, serta dibimbing untuk memperoleh haji mabrur, yang berbalas Surga, dan yang tentu akan memberikan efek perubahan positif, baik bagi diri pribadi dan keluarga masing-masing jamaah secara khusus maupun bagi kehidupan masyarakat serta bangsa dan ummat secara umum. Aamiin!
Tulisan ini tidak untuk membahas tentang hukum-hukum ibadah haji dan umrah. Karena kurang relevan untuk coretan singkat seperti ini. Namun tulisan ini ingin mengajak para pembaca untuk menggali hikmah, ibrah dan pelajaran yang sangat besar dan banyak sekali di balik ibadah suci, sakral dan istimewa ini. Dimana dengan mengambil hikmah, ibrah dan pelajaran itu, kita yang tidak atau belum berkesempatan berhaji-pun tetap bisa mendapatkan barakah dan fadhilah yang sangat besar dari ibadah haji dan umrah. Sedangkan bagi para jamaah haji sendiri, pengambilan hikmah, ibrah dan pelajaran dari manasik haji dan umrah yang insyaallah segera mereka jalankan, akan memberikan nilai lebih dan sekaligus bisa menjadi pembuktian serta penyempurna bagi ke-mabrur-an haji mereka.
Tentu saja banyak sekali hikmah, ibrah dan pelajaran yang bisa kita petik dari haji dan umrah ini. Namun tulisan ini hanya akan menyebutkan tiga saja, yang sangat fundamental dan urgen sekali bagi upaya peningkatan kualitas keislaman dan keistiqamahan kita.
Pertama, ruhut-talbiyah (semangat menyambut seruan Allah dan memenuhi panggilan-Nya). Jamaah haji dan juga umrah, sejak pertama kali berniat ihram, disunnahkan memperbanyak pengucapan talbiyah, yang berupa ucapan: Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik…dan seterusnya, yang berarti: aku sambut seruan-Mu ya Allah, aku sambut seruan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada ilah (tuhan yang berhak diibadahi dengan benar) selain Engkau, aku penuhi panggilan-Mu… Maka esensi dari bacaan talbiyah di dalam haji dan umrah adalah semangat dan kesiapan menyambut seruan Allah, yang juga biasa dibahasakan dengan kata sami’na wa atha’na, yang bermakna: kami dengar dan kami siap taat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Sesungguhnya jawaban/sikap orang-orang mukmin, bila diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menegakkan hukum di antara mereka, ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh (taat) dan mereka itulah orang-orang yang beruntung/berbahagia” (QS. An-Nuur [24]: 51). Nah, betapa indah dan luar biasa seandainya semangat kita dan seluruh kaum muslimin dalam menyambut setiap seruan dan perintah Allah adalah seperti yang kita miliki dalam menyambut seruan untuk berhaji dan berumrah! Bahkan seandainya semangat kaum muslimin dalam menyambut dan memenuhi setiap seruan dan perintah Allah, setara dengan seperempat saja misalnya dari semangat dan antusiasme mereka dalam berhaji dan berumrah, niscaya tuntaslah seluruh masalah ummat dan bangsa ini! Namun sayang sekali, kita sering tidak sadar bahwa, faktanya selama ini kita masih diskriminatif dalam menyikapi seruan-seruan dan perintah-perintah Allah Ta’ala! Maka mari menyambut setiap seruan dan perintah Allah dengan ruh labbaikallahumma labbaik dan semangat sami’na wa atha’na!
Kedua, ruhul-’ibadah lil-’ibadah (semangat ibadah untuk ibadah, atau baca: totalitas ibadah). Jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah asasi yang lainnya, maka akan didapati bahwa, haji dan umrah dengan seluruh rangkaian manasiknya adalah merupakan praktik ibadah ritual yang paling jauh dari penalaran logika dan akal. Namun toh setiap jamaah tetap saja bersemangat dalam menjalankannya. Ini hikmah dan pelajaran yang sangat penting yang mengingatkan kita semua bahwa, yang harus menjadi dasar dan motivasi utama dalam menjalankan setiap ibadah, khususnya yang bersifat ritual, adalah iman dan bukan rasio atau logika. Disamping ini juga menyadarkan dan menegaskan tentang kesalahan dan bahkan penyimpangan orientasi sebagian kalangan yang biasa atau cenderung melogika-logikan (baca: mengedepankan dan mendominankan logika) ibadah-ibadah ritual Islam! Sehingga ketika kita ditanya misalnya, untuk apa melakukan semua amalan yang tidak logis itu? Maka jawaban terbaiknya adalah: kita melakukan itu semua atas dasar iman dan untuk tujuan ibadah kepada Allah. Karena kita adalah hamba-hamba Allah yang harus membuktikan penghambaan diri kita kepada-Nya. Dan karena Allah menciptakan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): 56. Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan hanya supaya mereka beribadah/mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56). Jadi itulah syi’ar kita: Al-’Ibadah lil-’ibadah! Beribadah untuk tujuan ibadah itu sendiri!
Ketiga, ruhut-tadhiyah (semangat atau jiwa pengorbanan). Haji dan umrah juga merupakan ibadah yang menuntut beragam pengorbanan yang tidak kecil, seperti pengorbanan harta, tenaga, waktu, mental dan masih banyak lagi yang lainnya, bahkan terkadang harus siap berkorban nyawa segala. Dimana tanpa adanya kesiapan berkorban dengan semua pengorbanan itu, seseorang tidak akan bisa sampai ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan ilahi. Mungkin karena itu, Rasululah shallalahu ‘alaihi wasallam menyebut haji dan umrah sebagai jihad tanpa pertempuran , khususnya bagi kaum perempuan, bahkan Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam sampai menyebutnya sebagai bentuk jihad yang paling utama (lihat HR. Ahmad dan Ibnu Majah, juga HR. Al-Bukhari, keduanya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Dan ibrah penting yang harus kita ambil disini adalah bahwa, setiap penunaian perintah dan syariat Allah menuntut pengorbanan. Sehingga tanpa adanya semangat dan kesiapan berkorban, jangan harap dienul-Islam bisa tegak dan eksis di muka bumi ini. Maka siapkah kita selalu berkorban?
Itulah tiga hikmah dan ibrah penting yang diharapkan bisa menjadi bagian dari “oleh-oleh” paling berharga dari haji dan umrah, tidak hanya bagi jamaah haji saja, tapi juga bagi kita semua. Semoga.
Sumber: www.ikadi.or.id
Musim haji telah tiba kembali. Dan pelaksanaan ibadah agung yang merupakan rukun Islam kelima itu akan segera berlangsung. Para jamaahpun secara bergelombang sudah pada berangkat untuk menyambut dan memenuhi seruan Allah. Tentu saja kita bergembira dan bersyukur atas besarnya semangat dan luar biasanya antusiasme masyarakat muslim dalam menunaikan perintah agama. Sekaligus tak lupa kita berdoa dan berharap semoga seluruh jamaah dikaruniai keikhlasan, diberi kemudahan dan kelancaran, serta dibimbing untuk memperoleh haji mabrur, yang berbalas Surga, dan yang tentu akan memberikan efek perubahan positif, baik bagi diri pribadi dan keluarga masing-masing jamaah secara khusus maupun bagi kehidupan masyarakat serta bangsa dan ummat secara umum. Aamiin!
Tulisan ini tidak untuk membahas tentang hukum-hukum ibadah haji dan umrah. Karena kurang relevan untuk coretan singkat seperti ini. Namun tulisan ini ingin mengajak para pembaca untuk menggali hikmah, ibrah dan pelajaran yang sangat besar dan banyak sekali di balik ibadah suci, sakral dan istimewa ini. Dimana dengan mengambil hikmah, ibrah dan pelajaran itu, kita yang tidak atau belum berkesempatan berhaji-pun tetap bisa mendapatkan barakah dan fadhilah yang sangat besar dari ibadah haji dan umrah. Sedangkan bagi para jamaah haji sendiri, pengambilan hikmah, ibrah dan pelajaran dari manasik haji dan umrah yang insyaallah segera mereka jalankan, akan memberikan nilai lebih dan sekaligus bisa menjadi pembuktian serta penyempurna bagi ke-mabrur-an haji mereka.
Tentu saja banyak sekali hikmah, ibrah dan pelajaran yang bisa kita petik dari haji dan umrah ini. Namun tulisan ini hanya akan menyebutkan tiga saja, yang sangat fundamental dan urgen sekali bagi upaya peningkatan kualitas keislaman dan keistiqamahan kita.
Pertama, ruhut-talbiyah (semangat menyambut seruan Allah dan memenuhi panggilan-Nya). Jamaah haji dan juga umrah, sejak pertama kali berniat ihram, disunnahkan memperbanyak pengucapan talbiyah, yang berupa ucapan: Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik…dan seterusnya, yang berarti: aku sambut seruan-Mu ya Allah, aku sambut seruan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada ilah (tuhan yang berhak diibadahi dengan benar) selain Engkau, aku penuhi panggilan-Mu… Maka esensi dari bacaan talbiyah di dalam haji dan umrah adalah semangat dan kesiapan menyambut seruan Allah, yang juga biasa dibahasakan dengan kata sami’na wa atha’na, yang bermakna: kami dengar dan kami siap taat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Sesungguhnya jawaban/sikap orang-orang mukmin, bila diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menegakkan hukum di antara mereka, ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh (taat) dan mereka itulah orang-orang yang beruntung/berbahagia” (QS. An-Nuur [24]: 51). Nah, betapa indah dan luar biasa seandainya semangat kita dan seluruh kaum muslimin dalam menyambut setiap seruan dan perintah Allah adalah seperti yang kita miliki dalam menyambut seruan untuk berhaji dan berumrah! Bahkan seandainya semangat kaum muslimin dalam menyambut dan memenuhi setiap seruan dan perintah Allah, setara dengan seperempat saja misalnya dari semangat dan antusiasme mereka dalam berhaji dan berumrah, niscaya tuntaslah seluruh masalah ummat dan bangsa ini! Namun sayang sekali, kita sering tidak sadar bahwa, faktanya selama ini kita masih diskriminatif dalam menyikapi seruan-seruan dan perintah-perintah Allah Ta’ala! Maka mari menyambut setiap seruan dan perintah Allah dengan ruh labbaikallahumma labbaik dan semangat sami’na wa atha’na!
Kedua, ruhul-’ibadah lil-’ibadah (semangat ibadah untuk ibadah, atau baca: totalitas ibadah). Jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah asasi yang lainnya, maka akan didapati bahwa, haji dan umrah dengan seluruh rangkaian manasiknya adalah merupakan praktik ibadah ritual yang paling jauh dari penalaran logika dan akal. Namun toh setiap jamaah tetap saja bersemangat dalam menjalankannya. Ini hikmah dan pelajaran yang sangat penting yang mengingatkan kita semua bahwa, yang harus menjadi dasar dan motivasi utama dalam menjalankan setiap ibadah, khususnya yang bersifat ritual, adalah iman dan bukan rasio atau logika. Disamping ini juga menyadarkan dan menegaskan tentang kesalahan dan bahkan penyimpangan orientasi sebagian kalangan yang biasa atau cenderung melogika-logikan (baca: mengedepankan dan mendominankan logika) ibadah-ibadah ritual Islam! Sehingga ketika kita ditanya misalnya, untuk apa melakukan semua amalan yang tidak logis itu? Maka jawaban terbaiknya adalah: kita melakukan itu semua atas dasar iman dan untuk tujuan ibadah kepada Allah. Karena kita adalah hamba-hamba Allah yang harus membuktikan penghambaan diri kita kepada-Nya. Dan karena Allah menciptakan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): 56. Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan hanya supaya mereka beribadah/mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56). Jadi itulah syi’ar kita: Al-’Ibadah lil-’ibadah! Beribadah untuk tujuan ibadah itu sendiri!
Ketiga, ruhut-tadhiyah (semangat atau jiwa pengorbanan). Haji dan umrah juga merupakan ibadah yang menuntut beragam pengorbanan yang tidak kecil, seperti pengorbanan harta, tenaga, waktu, mental dan masih banyak lagi yang lainnya, bahkan terkadang harus siap berkorban nyawa segala. Dimana tanpa adanya kesiapan berkorban dengan semua pengorbanan itu, seseorang tidak akan bisa sampai ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan ilahi. Mungkin karena itu, Rasululah shallalahu ‘alaihi wasallam menyebut haji dan umrah sebagai jihad tanpa pertempuran , khususnya bagi kaum perempuan, bahkan Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam sampai menyebutnya sebagai bentuk jihad yang paling utama (lihat HR. Ahmad dan Ibnu Majah, juga HR. Al-Bukhari, keduanya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Dan ibrah penting yang harus kita ambil disini adalah bahwa, setiap penunaian perintah dan syariat Allah menuntut pengorbanan. Sehingga tanpa adanya semangat dan kesiapan berkorban, jangan harap dienul-Islam bisa tegak dan eksis di muka bumi ini. Maka siapkah kita selalu berkorban?
Itulah tiga hikmah dan ibrah penting yang diharapkan bisa menjadi bagian dari “oleh-oleh” paling berharga dari haji dan umrah, tidak hanya bagi jamaah haji saja, tapi juga bagi kita semua. Semoga.
Sumber: www.ikadi.or.id
Tidak ada komentar