Republika/Tahta Aidilla/ca
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Tim Media Center Haji
(MCH) bersama petugas Kantor Urusan Haji Indonesia Daerah Kerja Makkah,
Sabtu dinihari waktu setempat, menemukan sepasang suami istri yang
diperkirakan merupakan jamaah haji non kuota dengan kondisi memelas
padahal mereka membayar mahal.
Sebelumya sepasang suami isteri
itu terlihat kebingungan di luar areal Masjidil Haram karena tidak tahu
arah pulang. Mereka hanya menggunakan identitas yang dikalungkan dengan
bertuliskan sebuah biro perjalanan.
Selain itu mereka tidak
menggunakn atribut yang biasanya digunakan oleh haji resmi atau biasa
disebut haji reguler atau haji kuota, seperti gelang identitas. Mereka
tidak mengetahui secara pasti tempat tinggalnya hanya mengatakan
kondisinya seperti penampungan.
Saat itu jamaah asal Jawa Timur
itu masih diduga sebagai haji kuota atau bahkan haji khusus yang tidak
membawa identitas resmi sehingga dibawa ke kantor Daker Makkah.
Namun
setelah berbincang, diperkirakan mereka bukan merupakan haji yang
melalui jalur resmi. Hal ini diketahui melalui cara membayar biaya haji
yang tidak sesuai jalur yang selama ini berlaku dan mereka mengaku tidak
diberikan identitas seperti yang dimiliki jamaah haji resmi.
Namun mereka mengaku tidak tahu jika masuk jamaah haji yang tidak terdaftar resmi.
Mereka
mengaku ditawari seseorang untuk berangkat haji dengan biaya Rp80 juta
per orang, sehingga berdua menjadi Rp160 juta. Mereka dibiayai anaknya.
Padahal biaya resmi haji reguler hanya sekitar Rp38 juta. Biaya mereka
hampir mendekati biaya haji khusus (ONH Plus).
Namun memang jika
melalui jalur haji resmi, calon jamaah harus menunggu lama, termasuk
haji khusus. Sementara mereka mengaku prosesnya hanya enam bulan.
Ternyata
bukan mereka saja yang berangkat, namun ada 18 orang dari Bandara
Juanda Surabaya. Rombongan tidak langsung menuju Arab Saudi tapi harus
beberapa kali ganti pesawat yakni di Singapura dan kemudian di Abudabi,
untuk selanjutnya ke Jeddah. Rombongan tanpa ada pembimbing sama sekali,
padahal jika haji resmi maka di pesawat antara lain ada petugas pembing
haji dan tenaga kesehatan.
Setelah dijemput bus kecil mereka
dibawa ke tempat penginapan. Yang mengenaskan, tempat penginapan
tersebut tidak layak, apalagi jika dibandingan dengan penginapan jamaah
haji resmi, bahkan jamaah haji reguler sekalipun. "Seperti penampungan,"
kata mereka lalu mengatakan lebih bagus rumah mereka di tanah air.
Selain
itu penginapan berada di lingkungan dan bangunan kumuh dengan ventilasi
tidak bagus sehingga tercium bau kurang sedap. Untuk menuju ruangan
harus melewati lorong kecil. Ada dua kamar yang terlihat yang diisi
dengan tempat tidur dengan kasur tipis. Di salah satu kamar diisi oleh
delapan orang, tanpa pendingin ruangan dan hanya kipas angin. Kamar
hanya dibatasi kain. Kamar mandi pun terlihat kurang sehat.
Tim
dari Seksi Perlindungan Daker Makkah dan beberapa wartawan MCH akhirnya
ikut mengantarkan kedua pasangan suami isteri ini untuk mencari tempat
penginapan mereka mulai Jumat (19/9) sekitar pukul 23.00 dan akhirnya
berhasil ditemukan pada Sabtu sekitar pukul 01.30.
Pemerintah
memang meminta masyarakat untuk berangkat haji melalui jalur resmi.
Tidak diketahui dari mana mereka memperoleh visa. Namun yang pasti nama
mereka tidak tercatat dalam Sistem Komputersisasi Haji Terpadu
(Siskohat).
Kerugian menjadi jemaah haji non kloter, antara lain,
tidak ada yang menjamin dalam hal akomodasi. Kerugian lain, tidak ada
yang melindungi karena tidak punya petugas atau pembimbing yang
mendampingi.
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/14/09/20/nc7edi-haji-nonkuota-bayar-rp-80-juta-fasilitas-terluntalunta
Tidak ada komentar