Rajin Jadi Imam Salat, Tukang Cireng Ini Naik Haji
Tahun ini akan menjadi tahun bersejarah bagi seorang pedagang cireng
asal Kota Cirebon, Jawa Barat, Djumadi. Betapa tidak, pria berusia 50
tahun itu akan menunaikan ibadah haji. "Saya berangkat karena menjadi
TPHD (Tim Pendamping Haji Daerah)," katanya saat ditemui Tempo, di
Asrama Haji Embarkasi Jakarta-Bekasi, Jalan Kemakmuran, Kota Bekasi,
Selasa, 9 September 2015.
Perjuangannya menjadi TPHD Provinsi Jawa Barat tak mudah. Ia terlebih dahulu menjadi abdi dalam Keraton Keprabonan, Cirebon sejak tiga tahun lalu. Padahal, menjadi bagian dari kerajaan sudah dilakoni sekitar lima tahun lalu. "Saya diangkat menjadi abdi dalem," kata warga RT 4 RW 9, Kelurahan Jagasatru, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon.
Menurut bapak dua anak ini, menjadi abdi dalem pun tak disangka. Awalnya, Sultan Kaprabonan Cirebon, Hempi Raja Kaprabon, MP mencari imam salat di langgar sekitar keraton. Adapun, teman dekatnya yang sudah lebih dulu menjadi abdi dalem tak bersedia. "Dia (temannya) meminta saya," kata dia.
Sebetulnya, pria yang tak lulus sekolah dasar ini memang sudah sering menjadi imam salat di beberapa tempat. Ilmu agamanya pun didapat sewaktu masih mempunyai guru. Pertama kali menjadi imam tarawih di keraton, Sultan langsung menerimanya. "Tahun lalu saya ditawari, mau haji apa tidak?" kata dia. "Saya bilang, ya mau lah."
Sayangnya, pertama kali didaftarkan ia tak lulus menjadi TPHD. Baru kemudian pada tahun ini impiannya berangkat menunaikan haji terwujud. Ia mengaku sangat bersyukur bisa benar-benar bisa menjadi tamu Allah. "Saya tidak menyangka, karena saya orang enggak punya," kata suami dari Fatimah ini.
Sebabnya, hasil dari jualan Cireng dianggap tak cukup untuk membiayai ongkos naik haji yang mencapai puluhan juta. Sedangkan, penghasilannya hanya sekitar Rp 65 ribu per hari dari jualan Cireng. Uang sebanyak itu diberikan kepada istri Rp 30 ribu, untuk dua orang anak Rp 20 ribu, dan untuk dipegang Rp 15 ribu. "Alhamdulillah semua menerima apa adanya," kata dia.
Ia menjelaskan, setiap hari berdagang cireng di sebuah sekolah yang tak jauh darib rumahnya. Dalam sehari, ia mampu menjual 300 biji cireng. Per cireng harga jualnya Rp 1.000. "Saya ngambil dari agen satunya Rp 650," kata dia. Jadi untung kotor Rp 105 ribu, dipotong beli bahan-bahan seperti saos, minyak, bungkus Rp 40 ribu, sisanya Rp 65 ribu.
Sebelum dagang cireng, Djumadi sempat jualan koran keliling pada tahun 1986 hingga 2007. Omset semakin menurun, lalu ia beralih menjadi pedagang susu kemasan keliling. Target yang dipatok perusahaan sulit tercapai, sehingga ia hanya bertahan hingga lima tahun. "Jualan bakso ikan, hanya setahun," kata dia. "Sekarang jualan cireng, alhamdulillah lancar."
Sumber : http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/09/083698937/rajin-jadi-imam-salat-tukang-cireng-ini-naik-haji
Perjuangannya menjadi TPHD Provinsi Jawa Barat tak mudah. Ia terlebih dahulu menjadi abdi dalam Keraton Keprabonan, Cirebon sejak tiga tahun lalu. Padahal, menjadi bagian dari kerajaan sudah dilakoni sekitar lima tahun lalu. "Saya diangkat menjadi abdi dalem," kata warga RT 4 RW 9, Kelurahan Jagasatru, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon.
Menurut bapak dua anak ini, menjadi abdi dalem pun tak disangka. Awalnya, Sultan Kaprabonan Cirebon, Hempi Raja Kaprabon, MP mencari imam salat di langgar sekitar keraton. Adapun, teman dekatnya yang sudah lebih dulu menjadi abdi dalem tak bersedia. "Dia (temannya) meminta saya," kata dia.
Sebetulnya, pria yang tak lulus sekolah dasar ini memang sudah sering menjadi imam salat di beberapa tempat. Ilmu agamanya pun didapat sewaktu masih mempunyai guru. Pertama kali menjadi imam tarawih di keraton, Sultan langsung menerimanya. "Tahun lalu saya ditawari, mau haji apa tidak?" kata dia. "Saya bilang, ya mau lah."
Sayangnya, pertama kali didaftarkan ia tak lulus menjadi TPHD. Baru kemudian pada tahun ini impiannya berangkat menunaikan haji terwujud. Ia mengaku sangat bersyukur bisa benar-benar bisa menjadi tamu Allah. "Saya tidak menyangka, karena saya orang enggak punya," kata suami dari Fatimah ini.
Sebabnya, hasil dari jualan Cireng dianggap tak cukup untuk membiayai ongkos naik haji yang mencapai puluhan juta. Sedangkan, penghasilannya hanya sekitar Rp 65 ribu per hari dari jualan Cireng. Uang sebanyak itu diberikan kepada istri Rp 30 ribu, untuk dua orang anak Rp 20 ribu, dan untuk dipegang Rp 15 ribu. "Alhamdulillah semua menerima apa adanya," kata dia.
Ia menjelaskan, setiap hari berdagang cireng di sebuah sekolah yang tak jauh darib rumahnya. Dalam sehari, ia mampu menjual 300 biji cireng. Per cireng harga jualnya Rp 1.000. "Saya ngambil dari agen satunya Rp 650," kata dia. Jadi untung kotor Rp 105 ribu, dipotong beli bahan-bahan seperti saos, minyak, bungkus Rp 40 ribu, sisanya Rp 65 ribu.
Sebelum dagang cireng, Djumadi sempat jualan koran keliling pada tahun 1986 hingga 2007. Omset semakin menurun, lalu ia beralih menjadi pedagang susu kemasan keliling. Target yang dipatok perusahaan sulit tercapai, sehingga ia hanya bertahan hingga lima tahun. "Jualan bakso ikan, hanya setahun," kata dia. "Sekarang jualan cireng, alhamdulillah lancar."
Sumber : http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/09/083698937/rajin-jadi-imam-salat-tukang-cireng-ini-naik-haji
Tidak ada komentar