Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Haji yang Sempurna

    Oleh: Nur Faridah

    Alkisah, Asy-Syibli, seorang ulama sufi besar, sepulang dari ibadah haji menemui gurunya, Ali Zainal Abidin, putra Husein cucu Nabi SAW. Asy-Syibli pun ditanya, “Apakah kamu benar-benar sudah menunaikan ibadah haji?” “Sudah,” jawab Asy-Syibli. Ia kembali ditanya, “Apakah ketika berhenti di miqat kamu menguatkan niat, dan menanggalkan semua pakaian maksiat kemudian menggantinya dengan pakaian ketaatan?” “Tidak,” jawab Asy-Syibli.

    Asy-Syibli kembali ditanya, “Saat kamu menanggalkan pakaian yang terlarang itu apakah kamu sudah menghilangkan perasaan riya, munafik, dan semua syubhat (yang diragukan hukumnya)?” Asy-Syibli menjawab, “Tidak.” Ia kembali ditanya, “Ketika berada dalam ibadah haji yang terikat dengan ketentuan-ketentuan haji (manasik haji), kamu telah melepaskan diri dari segala ikatan duniawi dan hanya mengikatkan diri dengan Allah?” “Tidak,” jawab Asy-Syibli.

    Kalau begitu, kamu belum membersihkan diri, belum berihram, dan belum mengikat diri kamu dalam beribadah haji,” jelas gurunya. Ali Zainal Abidin kembali bertanya, “Ketika tawaf, apakah kamu berniat untuk lari menuju rida Allah?” Asy-Syibli menjawab, “Tidak.” “Jika demikian, kamu belum tawaf,” terang gurunya.

    Sang gurunya bertanya lagi, “Apakah saat kamu melakukan sai antara Safa dan Marwa, kamu mencurahkan semua harapan untuk memperoleh rahmat Allah, dan bergetar tubuhmu karena takut akan siksaan-Nya?” Asy-Syibli menjawab, “Tidak.” “Kalau begitu, kamu belum melakukan sai di antara keduanya,” papar gurunya.

    Asy-Syibli kembali ditanya, “Ketika kamu wukuf di padang Arafah, apakah kamu benar-benar menghayati makrifat akan keagungan Allah? Apakah kamu menyadari hakikat ilmu yang dapat mengantarkanmu kepada-Nya? Apakah kamu menyadari dengan sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui segala perbuatan, perasaan dan suara nurani?” “Tidak,” jawab Asy-Syibli. “Kalau begitu, kamu belum wukuf di Arafah,” terang gurunya.

    Ali Zainal Abidin melontarkan pertanyaan lagi, “Ketika kamu kembali ke Makkah untuk melakukan tawaf ifadhah, apakah kamu berniat untuk tidak mengharapkan pemberian dari siapa pun, kecuali dari karunia Allah, tetap patuh kepada-Nya, mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya?” “Tidak,” jawab Asy-Syibli. “Jika demikian, kamu belum melaksanakan manasik. Kembalilah ke Makkah, sebab kamu sesungguhnya belum menunaikan ibadah haji,” tegas gurunya.

    Asy-Syibli pun menangis dan berharap tahun depan bisa berhaji lagi dengan sempurna. Dialog di atas dikutip dan diringkas dari kitab hadis Al-Mustadrak karya Imam Al-Hakim. Dari dialog tersebut tergambarkan bahwa haji selain menunaikan manasik haji dengan benar juga perlu diiringi penjiwaan atau pemaknaan terhadapnya.

    Jadi, haji tidak sekadar aktivitas yang menguras fisik, namun tanpa efek baik terhadap individu maupun masyarakat secara luas sepulang dari haji.
    Umat Islam dari berbagai penjuru bumi telah selesai menunaikan ibadah haji dan umrah di Tanah Suci. Setiap jamaah tentu berharap bisa menunaikan rukun Islam kelima itu dengan baik, yakni menjadihaji mabrur (diterima Allah).

    Nabi SAW bersabda, “Haji mabrur itu tiada balasan pahala bagi pelakunya kecuali surga.” (HR al-Bukhari). Namun, tidak semua mendapatkan predikat yang mulia tersebut. Semua tergantung perilaku individu pelaku haji selama dalam rangkaian manasik haji tersebut. Haji yang sempurna atau mabrur adalah haji jiwa raga yang berefek nyata dalam kehidupan; dalam ucapan, perilaku, dan hati.Wallahu a’lam. 

    Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/16/09/17/odmnzj301-haji-yang-sempurna

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728