Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Pahala Haji dan Umrah

    Pic : FB Brunei Islam
    IBADAH haji diwajibkan pada tahun ke-6 H. Allah SWT berfirman yang artinya, “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…” (QS Al Imran, 97).

    Pada tahun ke-8 H, Nabi SAW menyuruh Atab bin Asyad, Gubernur Makkah, menunaikan haji bersama umat Islam, dan pada tahun ke-9 Hijriah Nabi SAW menyuruh Abu Bakar RA menunaikan haji bersama umat Islam, keduanya ini ditunjuk sebagai Amirul-Haj.

    Nabi SAW baru melaksanakan pada tahun ke-10 H bersama ratusan ribu umat Islam, beliau berangkat dari Madinah, haji ini dinamakan hajjatul-wa’da. Nabi pernah juga naik haji beberapa kali sebelum diangkat dan sesudah diangkat menjadi Rasul sebelum hijrah ke Madinah.

    Ibadah haji sebenarnya tidak saja diwajibkan kepada umat Islam, tetapi juga kepada umat terdahulu, (Sabilal Muhtadin, Bab Haji dan Umrah). Nabi bersabda, “… Alhajjul-mabruru laisa lahu jaza’un illal-jannah.” Artinya, “…Haji mabrur tidak ada balasan selain surga.” (HR Bukhari Muslim)
    Tempo dulu untuk melaksanakan haji terasa sulit. Umat Islam Indonesia khususnya naik haji ke Makkah harus terkatung-katung berbulan-bulan di tengah lautan, berganti kapal dan perahu; paling berbahaya adalah ketika melewati laut “sakatrah.” Ombak begitu besar dan angin begitu kencang membuat kapal menjadi oleng, dan jamaah pun pada mabuk semua.

    Laut sakatrah adalah selat “Bab al-Mandeb”, di situ pertemuan arus air laut Merah dengan lautan Hindia. Fasilitas untuk berhaji begitu minim, transportasi Jeddah-Makkah-Madinah dan sebaliknya menggunakan unta (sekedup) kendati ada mobil truk; ada juga taksi dan sedan hanya bisa disewa oleh orang-orang kaya.

    Jemaah Indonesia membawa peti besar disebut “sahara,” di dalamnya dimasukkan segala peralatan tidur, alat masak berupa panci, rinjing dan sesusuknya, kincing, wancuh, dan lain-lain; dibawa pula bahan-bahan berupa beras, iwak karing & wadi, mandai, pakasam, gula, teh, kopi, kelapa dan lain-lain.

    Di Tanah Suci, air begitu sulit, tempat-tempat tinggal kumuh dan kotor, sampah di mana-mana, lalat berterbangan kesana kemari, bau busuk di jalan-jalan menyengat penciuman.
    Sekarang, transportasi begitu mudah. Berangkat pagi dari Tanah Air, malamnya sudah berada di Tanah Suci. Di Tanah Suci pun segala sesuatunya megah dan mewah, bersih dan rapi; segala keperluan terpenuhi bahkan berlebihan; tinggal pulusnya yang kurang. Bila Anda keluar dari Masjid Al-Haram di Makkah atau Masjid Nabawi di Madinah, masuk mal-mal dan hotel, rasanya entah berada di mana.

    Bahasa pun sudah tidak menjadi persoalan. Bahasa Indonesia juga dipergunakan, bahkan para pedagang kaki lima menawarkan barang dagangannya sambil berteriak, “bagus murah, bagus murah.” Walaupun demikian, untuk berhaji juga tidak bisa dikatakan mudah, karena peminatnya membeludak, mendaftar sekarang baru bisa berangkat hampir 30 tahun mendatang.

    Jika seseorang tidak mampu ke Makkah karena ongkosnya selalu naik, sehingga dikatakan “naik haji,” tidak pernah orang berkata “turun haji”, dia bisa mendapatkan pahala haji dan umrah di setiap hari, dengan syarat : 1) Salat Subuh berjemaah. 2) Duduk berdzikir sampai matahari terbit. 3) Salat dua rakaat.

    Nabi SAW bersabda, man shallal-fajra fi jama’atin, tsumma qa’ada yadzkurullaha ta’ala hatta tathlu’asy-syamsu, tsumma shalla rak’ataini, kanat ka’ajri hajjatin wa ‘umratin, tammah tammah tammah.

    Artinya, “Barang siapa mendirikan salat Subuh berjamaah, kemudian dia duduk berdzikir mengingat Allah SWT, kemudian ia salat dua rakaat, ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna.” (HR Tarmidzi, hadist hasan).

    Dengan hadist ini, usai salat Subuh ada jemaah yang duduk terus-menerus sampai matahari terbit. Dia tidak berani berdiri kendati hanya untuk mengambil mushaf atau bersalaman dengan jemaah lainnya, bahkan ia menahan qadha hajatnya karena khawatir pahala haji dan umrahnya batal.

    Pemahaman ini disebut tekstual. Jika demikian, pelaksanaan agama menjadi kaku dan sulit. Syekh Muhammad bin Allan As-Siddiqi memahami secara kontekstual, apa tuntutan hadist ini. Beliau mengatakan, “dimaksud qa’ada yadzkurullaha adalah istimraru ala haali dzikrihi sawa’un kaana qaa’iman aw qa’idan aw mudh-taji’an, wal-julusu afdhalu illa idza aaradahu amrun kal-qiyami lithawafin aw shalati janazatin aw lihudhuri darsin wa nahwiha.

    Artinya, terus menerus dalam keadaan dzikir, walaupun dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring; kendati duduk lebih utama kecuali ada hal yang memerlukan seseorang harus berdiri, seperti tawaf, salat jenazah, menghadiri pengajian agama dan semisalnya. (termasuklah pergi untuk qadha hajat dan bersuci).” (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah, jilid 3, hal 64-65).

    Mari meraih pahala haji dan umrah setiap hari. (*)


    Oleh: KH Husin Naparin Lc MA
    Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalsel



    (Sumber : Tribunnews)

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728